Powered By Blogger

Rabu, 14 Desember 2011

Mbah Muqoyyim BUNTET

Kesultanan Cirebon berada dalam titik nadir yang paling rendah, karena perebutan kekuasaan. Ini terjadi setelah mangkatnya Pangeran Girilaya pada tahun 1662 M. pertikaian internal antara Pangeran Sepuh II dan Pangeran Arya Cirebon menjadi alasan bagi Belanda untuk mencengkramkan pengaruhnya di kesultanan. Sehingga kesultanan pecah menjadi empat dengan pemimpinnya sendiri-sendiri.

Ditengah suasana seperti itu, pada tahun 1689 M Mbah Muqoyyim lahir, di desa srengseng krangkeng, Karang Ampel Indramayu. Berdasarkan buku silsilah pesantren Buntet, beliau adalah putra Kyai Abdul Hadi yang berdarah kesultanan Cirebon. Diyakini, Mbah Muqoyyim mendapat ilmu secara laduni, diperolehnya tanpa melalui proses belajar. Namun, ada juga pihak yang meyakini bahwa beliau mendapat ilmu agama dari sebuah pesantren di jawa, tapi tidak terdapat dokumen yang memberikan penjelasan ihwal keberadaan pesantren tersebut.

Kala itu, Cirebon sering mengadakan hubungan dengan Banten, yang berada dibawah pemerintahan adipati anom alias Amangkurat II, dimana perkembangan ilmu keagamaan cukup tinggi. Sebelumnya, Mbah Muqoyyim mengunjungi tempat-tempat yang pernah disinggahi Syaikh Yusuf Al Makasari, menantu Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten sebelum masa pemerintahan Amangkurat I. di tempat-tempat itu ia bertemu dan berdiskusi dengan pengganti atau murid-murid Syaikh Yusuf.

Selain alim, beliau juga produktif menuangkan gagasannya dalam karyanya. Ia menulis beberapa buku tentang fiqh, tauhid, dan tasawuf yang dikirim pada Sultan Kanoman agar dijadikan buku pegangan bagi para pembesar keraton dan rakyat Cirebon. Maka tak mengherankan bila ia kemudian diangkat sebagai Mufti. Selain itu, ia juga dikenal sakti, tapi rendah hati kepada siapa pun. Ia sangat mengedepankan akhlakul karimah.

Mbah Muqoyyim menikah dengan Randu Lawang, putri tunggal Kyai Entol Rujitnala, seorang yang dikenal sakti tapi gagal membuat bendungan penahan banjir yang selalu menggenangi sungai Nanggela, sehingga daerah Setu selalu kebanjiran bila musim hujan datang. Merasa tidak mampu membuat bendungan penahan banjir, Kyai Entol kemudian mengadakan sayembara dengan hadiah anak semata wayangnya bagi yang berhasil membuat bendungan penahan banjir.

Mbah Muqoyyim yang ketika itu menjadi Mufti Keraton Kanoman, mengikuti sayembara itu. Tapi dengan niat kemanusiaan, yaitu menghilangkan banjir. Meski demikian, sesuai dengan sifatnya yang rendah hati, ia juga tidak ingin mempermalukan penyelenggara. Caranya, sementara ia melakukan tugasnya untuk membangun bendungan, dimintanya Kyai Entol berdoa.
Seutas benang yang dikeluarkan dari jubahnya, dibentangkan di beberapa titik yang akan dibangun bendungan. Kemudian, dengan hentakkan, terciptalah bendungan itu lengkap dengan dinding batu yang kokoh. Sejak itu penduduk Setu terhindar dari banjir. Keberhasilan ini tentu saja membuat Mbah Muqoyyim harus menikah dengan putri Kyai Entol, dan beliaupun menjadi menantunya.
Dominasi Belanda terhadap Keraton Cirebon sudah terlalu jauh sehingga masuk dalam wilayah pengambilan keputusan dan kebijakan keraton, mengobarkan kemarahan Mbah Muqoyyim. Namun, merasa dirinya hanya Mufti, tindakan perlawanannya tidak konfrontatif, melainkan berupa pengunduran diri dengan cara meninggalkan keraton.
Ia kemudian mendirikan pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam dan basis perlawanan kultural terhadap Belanda, ia ingin bererak di bidang pendidikan mental dan spiritual agar dapat melaksanakan ajaran agama Islam dengan tenang dan menyikapi situasi dengan jernih. Pendidikan mental akan memberikan motivasi yang kuat bagi para santri untuk tidak tunduk pada penjajah Belanda.
Mbah Muqayyim memilih Buntet sebagai lokasi Pesantrennya, yang berjarak 12 KM arah timur dari pusat keraton. Alasannya, karena disitu Kuwu Cirebon atau Uwak Syarif Hidayatullah, pernah mendirikan Padepokan. Berkat reputasinya sebagai pemenang sayembara membangun bendungan dan kedudukan Mufti Sultan Kanoman, Pesantren Buntet cepat berkembang.
Dalam perjalanannya, Belanda yang melihat Mbah Muqoyyim sebagai ancaman serius, segera menyerang dan mengosongkan pesantren Buntet. Perlawanan sengit dilakukan oleh pihak pesantren. Disini diuji bekal mental dan komitmen pesantren untuk tidak berkompromi dengan penjajah Belanda. Panji-panji jihad berkibar, aroma sorga tercium dan mati syahid pun menjadi tujuan. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Dalam pertempuran yang timpang itu, Mbah Muqoyyim berhasil menyelamatkan diri di pesawahan sindanglaut tempat adiknya bermukim. Disana ia mendirikan masjid.

Ceritanya, ketika membangun masjid tersebut, ia hanya menggunakan sebatang pohon jati yang banyak tumbuh disitu, sehingga tempat asal pohon tersebut dikenal hingga sekarang dengan nama Jatisawit (Jati Sa Wit bahasa jawa – Jati satu pohon). Usai membangun masjid, ia membangun pesantren yang kemudian dikenal dengan pesantren pesawahan. Salah seorang santrinya adalah Chaeruddin, ditengarai sebagai cucu Adipati Anom, sehingga masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Muqoyyim.

Dibawah bimbingan mbah Muqoyyim, pangeran Chaeruddin di didik dan dipersiapkan menjadi manusia pemberani dan siap bertarung dengan kompeni, lantaran ia adalah pewaris tahta kesultanan kanoman yang tidak setuju dengan sikap keratin yang tunduk kepada Belanda.

Keberadaan pangeran Chaeruddin disamping Mbah Muqoyyim membuat Belanda semakin marah. Maka, dalam suatu penyerbuan ke Pesantren tersebut Belanda menangkap pangeran Chaeruddin dan kemudian membuangnya ke Ambon. Sedangkan Mbah Muqoyyim menyingkir ke Beji, Pemalang. Disana, ia juga mendirikan masjid dan pesantren setelah membabat hutan angker. Ia masuk hutan tanpa mendapat gangguan, sementara orang lain selalu raib tanpa diketahui rimbanya.
Suatu saat ketika Cirebon diserang wabah penyakit kolera, Mbah Muqoyyim mendapat kesempatan untuk mengembalikan Pengeran Chaeruddin dari pembuangannya. Mbah Muqoyyim dianggap sebagai satu-satunya orang yang bisa melawan wabah kolera tersebut. Maka dipanggillah ia untuk melaksanakan tugas tersebut, saat itulah Mbah Muqoyyim mengajukan syarat agar pangeran Chaeruddin dipulangkan. Syarat itu disetujui. Pangeran Chaeruddin tiba di Cirebon, dan wabah kolera pun hilang.

Selama di Cirebon, Mbah Muqoyyim memanfaatkan waktunya untuk membangun kembali pesantren Buntet, yang berantakan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Tidak lama kemudian, ditengah usahanya untuk menata kembali pesantren Buntet, ia dipanggil kehadirat Ilahi Rabbi. Semoga Allah menempatkannya pada tempat mulia di sisiNya. Amin.

1 komentar:

  1. Artikel menarik, apakah ada keterangan tahun berapa tepatnya mbah muqoyyim kembali ke cirebon ketika terjadi wabah penyakit itu? Kemudian pesantren yang di beji apakah skrg masih ada? Trima kasih.

    BalasHapus